Buang sifat jorokmu, ingat kepentingan orang lain


asyik kan buang sampah sembarangan
sumber: http://www.kemendagri.go.id

Sampai sekarang saya masih terheran-heran … dan mungkin seterusnya, kalau melihat orang yang dengan tenangnya buang sampah sembarangan atau tidak pada tempatnya.

Rasa terheran-heran itu kadang menjadi rasa jengkel. Kok bisa ya ada orang seperti itu joroknya! Tapi in fact-nya memang ada dan buanyak lagi ….

Seperti contoh foto di atas yang diperoleh dari laman http://www.kemendagri.go.id, memang asyik buang sampah ke sungai – terutama untuk mereka yang tinggal di sekitar sungai. Tinggal lempar dan plung, masuk ke sungai. Sadis!

Membuang sampah ke sungai termasuk perbuatan jorok yang sadis menurut saya karena banyak masyarakat yang langsung terasakan akibatnya karena buangan sampah ke sungai ini. Diantaranya sumber penyakit (terutama untuk mereka yang tinggal di sekitar sungai dan menggunakan air sungai dan menambah potensi terjadinya kerusakan lingkungan, terutama samplah plastik).

Habis buang dimana? Ya di tempat sampahlah! masa mau dimana? iya nggak? Begitu saja kok nanya ya? Tapi sekali lagi, that’s the fact-nya. Banyak terjadi dimana-mana.

Seringkali terjadi keinginan untuk membuang sampah pada tempatnya tinggi, tetapi fasilitas pendukung kurang, demikian pula sebaliknya. Untuk mereka yang malas, tentu langsung membuangnya di sembarang tempat. Tetapi untuk yang sudah lebih mengerti, bisa menahan diri untuk menyimpan sampahnya sementara hingga bertemu dengan tempat sampah. Dalam hal ini, menempatkan fasilitas tempat sampahpun memerlukan strategi. Mungkin dengan menghitung dengan ratio jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah misalnya.

Hanya saja kembali kepada ‘mental’ dasar manusianya, biar pendidikan (formal) tinggi, tetapi rupanya tidak berbanding lurus dengan kelakukan membuang sampahnya.

Saya sering melihat mobil dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi di dalamnya, tetapi saat ingin membuang sampah, mudah saja, tinggal turunkan kaca mobilnya, lalu dilempar keluar deh sampahnya. Smart kan ya? hehehe.

Sehingga saya pernah tertawa geli saja saat hadir di acara presentasi pengelola sampah terpisah, dengan ringannya langsung dikatakan, bahwa dikantor – ditempat ia bekerja, perlu disosialisasikan membuang sampah yang benar dan perlu dilakukan perubahan perilaku membuang sampah. Saya cuma berkomentar dalam hati,”Whatttt??? It’s not that easy as you assumed, mate!”

Dikira mudah dengan sekali dua sosialisasi, lalu perilakunya berubah. Kebiasaan yang sudah lama dimiliki perlu proses bertahap dan intens serta didukung dengan fasilitas mendukung yang berkelanjutan, tidak hangat-hangat tahi ayam juga.

Seperti contoh membuang sampah dari dalam mobil seperti tersebut di atas. Bila si pemilik mobil memiliki hati nurani yang cukup dan tidak ‘bodoh-bodoh’ dan malas-malas amat, ia akan menyiapkan tempat sampah didalam mobil. Tidak perlu yang mahal, kantong kresekpun cukup. Tapi itulah … habit yang buruk yang ada dalam tubuhnya mendarah daging, sulit sekali untuk dirubah, kecuali dengan pemberian pemahaman yang berkelanjutan, penyediaan fasilitas membuang sampah yang memadai serta tekad yang kuat dari yang bersangkutan.

Lingkungan rumah serta pendidikan informal memegang peranan sangat penting di sini. Saat saya dan keluarga tinggal di Australia, sejak kecil di sana, kebiasaan tersebut ditanamkan, disamping peraturan pemerintah yang cukup kuat dan ketat dilaksanakan.

Beberapa hal dapat kita lakukan dengan melakukan antitesa dari kebiasaan membuang sampah sembarangan yang disebabkan oleh: sifat malas, bodoh, egois, tidak memiliki cukup rasa malu dan kurangnya ‘pemahaman’ tentang agama (mungkin mereka beragama, hanya belum atau tidak mau memahami hal seperti membuang sampah ini).

Harus dilawan hal-hal tersebut. Itu kalau kita ingin memperhatikan kepentingan orang lain dan ingin jadi manusia yang lebih baik lagi, yang utama juga sih, kalau lo punya rasa malu! Begitu ungkapan dalam bahasa Betawi.

Semoga bermanfaat

@kangbugi

 

 

Leave a comment